Teologi Kontekstual


“MODEL ANTROPOLOGIS”
Model antropologis berlawanan dengan model Terjemahan. Kalau model terjemahan menekankan pelestarian jati diri Kristen sambil mengindahkan kebudayaan, perubahan sosial dan sejarah setempat. Sedangkan model Antropologis lebih menekankan pelestarian jati diri budaya seseorang yang beriman Kristen. Model Antropologis punya dua arti: yaitu pertama Model ini berpusat pada nilai dan kebaikan pribadi manusia (anthropos). Pengalaman manusia (dalam kebudayaan, perubahan social, lingkungan geografis & historis) sebagai kriteria penilaian yang mendasar terhadap konteks (sejati atau tidak). Kehadiran Allah/teologi bukan hanya perkara dari “luar” (adi budaya. Adi kontekstual) turun ke bawah tapi terlebih kehadiran Allah yang tersembunyi itu dapat terjadi secara tak disangka-sangka. Kedua, model ini menggunakan wawasan-wawasan dan ilmu  sosial (antropologi). Seorang praktisi model ini memahami relasi antara manusia dan nilai-nilai yang membentuk kebudayan manusia. Allah hadir bawa keselamatan dalam budaya tsb bukan hanya lewat air (baptis). Kebudayaan manusia dilestarikan. Hal ini bukan berarti mengabaikan pentingnya Kitab Suci atau Tradisi. Jati diri budaya autentik tetap dipelihara.
            Istilah Indigenisasi merupakan keseluruhan proses kontekstualisasi. Model ini menekankan apa yang pribumi atau asli dalam satu bangsa dan kebudayaan. Model ini memusatkan perhatian pada keabsahan manusia sebagai tempat pewahyuan Ilahi sekaligus sebagai sumber teologi, sepadan dengan sumber lain, Kitab Suci dan Tradisi.
                  Peran utama dan wawasan pengaruh model ini adalah kodrat manusia (baik, kudus dan berharga). Dalam kebudayaan manusia kita menemukan pewahyuan Allah. praktisi model ini memahami Kitab Suci sebagai produk pengalaman-pengalaman religius yang dibentuk secara sosial dan kultural yang muncul dari kehidupan bangsa Ibrani dan jemaat Kristen itu sendiri. Model ini melihat rumusan-rumusandoktriner sebagai kata-kata yang dibentuk oleh rupa-rupa kebudayaan dan kepentingan sosio-politik Eropa Barat dan bukan kata-kata yang secara langsung diilhami dari surga. Praktisi model ini mencari pewahyuan dan manifestasi Diri Allah dalam rupa-rupa nilai, pola relasi dan keprihatinan yang tersembunyi dalam konteks.  Robert T.Rush melihat perubahan citra misionaris. Sebelumnya seorang misionaris digambarkan sebagai “saudagar mutiara” tapi KV II dan teologi misi menggambarkannya sebagai seorang  “ pemburu harta karun”. KS & Tradisi sebagai peta yg berguna dalam perburuan tersebut, yakni penggalian secara mendalam atas sejarah dan tradisi kebudayaan itu sendiri,”disanalah harta karun itu mesti ditemukan” . Harta karun itu ialah Rahmat Allah di dalam Kristus, kehadiran Allah yang menyembuhkan dan menebus yang tersembunyi dalam setiap kebudayaan dan agama di kebudayaan tersebut . Agama Kristen tidak akan mengubah secara radikal kebudayaan tesrbut. Model antropologis melihat adanya keuntungan timbal balik baik bagi kebudayaan tertentu maupun agama Kristen pada umumnya.
               Teologi yang terpusat pada ciptaan dan penebusan. Teologi yang terpusat pada penebusan tidak memberi cukup ruang bagi faktor-faktor kontekstual (pengalaman, kebudayaan) dalam proses berteologi aktual. Sedangkan teologi yang terpusat pada ciptaan menganggap pengalaman dan kebudayaan sebagai ajang pewahyuan kehadiran Allah dalam situasi tertentu. Praktisi model ini mengambil sikap dasar teologi yang berakibat pada ciptaan. Titik tolak model ini adalah kebudayaan. Dengan titik tolak perhatian istimewa pada kebudayaan manusia, entah sekuler atau religius. Khususnya dalam bentuk-bentuknya yang lebih radikal atau murni, model antropologis melihat sebuah kebudayaan tertentu sebagai sesuatu yang unik, dan penekanannya ada pada keunikan ini, bukan pada keserupaan yang dimiliki konteks itu dengan kelompok-kelompok kebudayaan yang lain.  Leonardo Mercado mengatakan: Untuk menghasilkan teologi Filipina harus digunakan kategori-kategori pemikiran orang Filipina dan gambaran-gambaran dan nilai-nilai milik orang Filipina sendiri. Peran Teolog: seperti bidan, ia membantu kelahiran teologi dengan pengalaman dan keahliannya tapi teolog tidak secara langsung melahirkan teologi itu.
konsekuensinya, model antropologis sangat sedikit bergantung pada wawasan-wawasan dari tradisi-tradisi yang lain dan kebudayaan-kebudayaan yang lain dalam ihwal pengungkapan iman. Kalaupun wawasan-wawasan itu digunakan, cara-cara piker yang lain itu harus dengan seksama disesuaikan. Akhirnya para Uskup Asia Timur mengakui bahwa metode ini mewajibkan para Uskup menemukan unsure-2 dalam kebudayaan Timur bisa digunakan untuk mengembangkan sebuah spiritualitas Asia Timur (asketisme, ajaran & praktek etika Cina klasik, metode meditasi, doa Timur).
                  Oleh karena itu, dengan menerapkan teknik-teknik antropologi dan sosiologi, seorang praktisi model antropologis berupaya mendengarkan satu konteks tertentu dalam rangka mendengarkan  firman Allah sendiri di tengah-tengah strukturnya sendiri (khususnya di tengah-tengah struktur kebudayaan yang majemuk), yang tersembunyi di sana bagaikan sebutir benih yang tertidur sejak permulaan zaman dan siap untuk berkecambah serta bertumbuh secara penuh. Model antropologis menggunakan kebijaksanaan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari dialog antaragama, darinya sebuah teologi sungguh-sungguh peka secara budaya dapat dirumuskan. Dalam cara serupa, oleh karena dalam sebuah bahasa ditemukan keseluruhan cara suatu bangsa atau kebudayaan memandang dunia ini, maka analisis metalinguistik atas bahasa sangat berfaedah untuk mencapai jantung hati sebuah kebudayaan di mana Allah menyatakan diri-Nya.
            Kekuatan model antropologis berasal dari kenyataan bahwa ia melihat realitas manusia dengan sangat bersungguh-sungguh. Ia menegaskan kebaikan seluruh ciptaan dan betapa dunia itu benar-benar dikasihi sehingga Allah mengutus Putra-Nya yang tunggal (Yoh 3:16). Gagasan tentang pewahyuan melangkaui gagasan pewahyuan dari model terjemahan, dalamnya diakui bahwa pewahyuan itu tidak niscaya merupakan sebuah pewartaan, tetapi hasil dari suatu perjumpaan dengan kuat kuasa kasih dan penyembuhan Allah di tengah-tengah kehidupan yang biasa dan jamak. Model ini juga memiliki keuntungan karena memungkinkan orang untuk melihat agama Kristen dalam satu terang yang baru lagi segar. Agama Kristen tidak secara otomatis merupakan ihwal memasokkan gagasan-gagasan asing. Sebaliknya, agama Kristen merupakan sebuah perspektif tentang bagaimana orang melakoni kehidupannya secara lebih setia sebagai seorang pelaku budaya dan sejarah. Menjadi orang Kristen, demikian yang ditekankan oleh model antropologis ialah menjadi manusia yang sesungguhnya, ihwal menemukan suatu kehidupan yang barangkali lebih sarat tantangan, namun selalu merupakan kehidupan dalam segala kelimpahannya. Ini sungguh merupakan cara berteologi yang sama sekali baru.
 Segi positif ketiga dari model antropologis ialah bahwa ia mulai di tempat umat berada, denganrupa-rupa persoalan serta kepentingan riil umat, bukan dengan persoalan-persoalan yang dikecokkan dari konteks-konteks yang lain. antropolog Jon Kirby telah menunjukkan bahwa evangelisasi di Afrika kurang berhasil oleh karena agama Kristen tidak ditampilkan sebagai suatu sistem yang memecahkan masalah-masalah yang sungguh-sungguh dipunyai oleh orang-orang Afrika. “orang-orang Kristen Afrika terus saja berkutat dengan masalah-masalah yang berada di luar batas kewenangan Gereja (dan berharap bahwa tidak ada orang yang memperhatikannya).
               Akan tetapi, satu bahaya utama menyangkut model ini ialah bahwa ia dengan mudah bisa mejadi mangsa romantisme budaya. Di satu sisi, romantisme ini terbukti oleh tiadanya pemikiran yang kritis atas kebudayaan bersangkutan. Walaupun kenyataan bahwa Mercado secara gambling mengingkari penerimaan secara kritis terhadap kebudayaan Filipina. Dan juga romantisme budaya semacam ini menutup mata terhadap kenyataan bahwa gambaran yang idilis tentang suatu kebudayaan yang dilukiskan oleh para praktisi model antropologis sebenarnya tidak ada. Kenyataannya ialah, sebagaimana yang ditandaskan Aylward Shorter, “Akulturasi”, atau perjumpaan satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain, selalu terjadi pada segala waktu bahkan walaupun ada rupa-rupa upaya dari beberapa masyarakat untuk mengunci mati suatu kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan terus berubah oleh karena beraneka ragam faktor, salah satu faktor ialah suatu perjumpaan dengan agama Kristen dan pengungkapannya yang sering kali dibuat dalam bentuk-bentuk budaya yang sama sekali berbeda. Apabila sebuah teologi atau sebuah Gereja partikular menilak perubahan budaya atas nama kontekstualisasi agama Kristen, dan bukannya membuka kebudayaan itu seluas-luasnya, maka penolakan semacam itu berfungsi sebagai suatu kekuatan konservatif dan sebenarnya merugikan kebudayaan bersangkutan.
                  Menggunakan model antropologis sering kali lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial dan perubahan sosial harus diperhatikan, tetapi juga pengalaman masa lapau Injil dan tradisi harus diindahkan dalam proses kontekstualisasi. Menemukan Injil yang lahir dari sebuah kebudayaan tertentu merupakan ideal model antropologis ini, seperti Mercado dan Pannikar, berbicara juga dalam kategori-kategori dosa, rahmat, keadilan, Allah Tritunggal dan seterusnya. Dan sejauh model antrpologis berupaya menlak pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan yang lain, kenyataan bahwa metodenya bergantung pada ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial yang justru berasal dari Barat merupakan petunjuk bahwa ia tidak bisa menjadi sebuah metode yang sama sekali terpisah.
                 Wawasan yang bisa di timba dari model antropologis ialah bahwa seorang teolog mesti berangkat dari tempat di mana iman sungguh hidup, yaitu di tengah-tengah kehidupan umat. Di dalam dunia sebagaimana adanya, sebuah dunia yang terikat oleh sejarah dan kebudayaan serta suatu bahasa tertentu, di situlah Allah berbicara. Mengabaikan hal ini berarti mengabaikan sumber teologi yang hidup. Namun melulu mendengar kepada masa kini dan tidak mau mendengar masa lampau sebagaimana yang terekam dalam Kitab Suci dan tradisi, sama artinya dengan mendengarkan sebuah simponi secara monoaural, padahal dengan memencet satu tombol saja simponi itu bisa didengarkan secara stereo penuh.  Peran seorang teolog terlatih karenanya bukan sebagai seorang pakar yang member tahu umat tentang cara terbaik untuk mengungkapkan iman mereka. Sebaliknya, perannya adalah sebagai orang yang memantulkan dan membuat tematisasi, orang yang mampu menyediakan latar belakang alkitabiah dan tradisi yang menyanggupkan umat untuk mengembangkan teologi mereka sendiri. Akan tetapi, juga teolog itu harus menjadi seorang partisipan di dalam kebudayaan di mana proses teologi kontekstual itu dilaksanakan. Ia memiliki keuntungan apabila ia memiliki pengalaman dengan kebudayaan-kebudayaan atau konteks-konteks yang lain, namun teolog itu mesti selalu merupakan seorang partisipan atau seorang yang memiliki simpati yang sejati terhadap situasi atau kebudayaan yang bersangkutan.
            Dalam hal ini model juga dapat disimpulkan bahwa model antropologis adalah model paling radikal yang memberi aksentuasi pada identitas budaya, serta relevansinya untuk teologi lebih daripada Kitab Suci atau tradisi. Kitab Suci dan tradisi tetap dipandang penting, namun merupakan hasil dari teologi-teologi yang relatif bersifat kontekstual yang ditempa dalam konteks-konteks yang sangat partikular. Model ini juga cenderung mementingkan pengalaman manusia. Namun bila dilihat lagi posisi ini relatif lebih tinggi daripada model yang lain. hal ini berkaitan dengan pengalaman yang diperhatikan oleh model ini ialah pengalaman yang transeden. Maka model ini terkesan mengambang dan sulit untuk dilakukan.
Contoh model Antropologis dalam budaya Toraja yakni acara mantaa. Acara mantaa merupakan salah satu acara terpenting dalam rangkaian upacara rambu solo’. Acara mantaa adalah pembagian daging yang dilaksanakan oleh pemangku adat kepada semua pihak dalam kampung dimana acara rambu solo’ diadakan. Dalam acara mantaa ini ada nilai yang terkandung di dalamnya yakni berupa penghargaan kepada pejabat tertentu misalnya, pemerintah, tokoh agama dan pendidik. Mantaa ini terbagi dalam tiga macam yaitu: pertama, mantaa palonto’ ialah pembagian daging yang ditujukan kepada rumpun keluarga. Otomatis pembagian palonto’ itu harus berurutan secara sistematis yakni mendahulukan tana’ bulaan selanjutnya tana’ bassi kemudian tana’ karurung. Kedua, mantaa penghargaan kerja. Pembagian daging kepada pekerja. Daging ini dikhususkan kepada yang sudah berupaya mengerjakan pemondokan, dekorasi bahkan kepada yang mengiris daging pun harus mendapat bagian dan pembagian daging semacam ini disebut mantaa tombi. Ketiga, mantaa ma’pelindo (memilih yang lebih layak) dilaksanakan setelah pembagian kepada pemangku adat dan masih ada yang bisa dibagi.
            Disamping tiga cara mantaa ini terkadang masih ada juga yang dilaksanakan pada daerah atau tondo’ tertentu yang biasa disebut mantaa ma’kala’ atau pa’lembang-lembang dan terkadang disebut juga mantaa padang. Yang dimaksud dengan ma’kala’, ma’lembang-lembang atau mantaa padang ialah daging yang diberikan kepada kampung tetangga karena sudah tertanam sejak dulu. Bala’kaan adalah panggung yang didirikan pada upacara kematian. tempat membagi-bagi daging atau mantaa, hal ini menandaskan bahwa orang mati itu sendirilah yang mendirikan bala’kaan itu, tempat ia membagi-bagikan daging kerbau yang dikorbankan pada acara kematiannya itu. dulu kerbau yang dikorbankan dalam upacara kematian seseorang dipandang sebagai miliknya sendiri. Karena kalau anak-anaknya mengorbankan kerbau atau babi, maka itulah yang akan menjadi dasar pembagian warisan kepada anak-anak almarhum itu. jadi memang daging kerbau yang dibagi-bagikan dari bala’kaan itu adalah milik orang mati itu sendiri. Orang Toraja dulu bekerja keras selama hidup, berupaya mengumpulkan harta, untuk dibagi-bagikan pada ritus mantaa di upacara kematiaannya! Melihat hal ini bisa dikatakan bahwa orang Toraja tempo dulu mengumpulkan harta bukan untuk dimiliki dan dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagi-bagikan pada upacara kematiannya kelak kepada mereka yang hidup.
            Dari hal ini bisa disimpulkan bahwa dalam kebudayaan Toraja di dalamnya terkandung nilai-nilai Injil salah satunya adalah upacara mantaa yang dilakukan dalam upacara rambu solo’. Dalam upacara mantaa nilai yang terkandung seperti berbagi bisa dibandingkan dengan Matius 14: 13-21; Markus 6:32-44; Lukas 9:10-17; dan Yohanes 6:1-13. Selain itu nilai yang terkandung di dalamnya adalah penghargaan kepada orang-orang yang telah bekerja dalam upacara kematian. jadi nilai luhur yang mendasari ritus mantaa ialah kerelaan berbagi milik, berbagi kehidupan, semangat kebersamaan, solidaritas komuniter dan persatuan keluarga.

Author : 
NAMA           : SRIHASTUTI  M.
NIRM              : 2020164699
KELAS            : E.  TEOLOGI

0 Comments for "Teologi Kontekstual"

Back To Top